Rabu, 29 Februari 2012

STRATEGI UMUM PENATAAN DAERA INDONESIA SUDUT PANDANG SOSIAL EKONOMI

STRATEGI UMUM PENATAAN DAERA INDONESIA SUDUT PANDANG SOSIAL EKONOMI
Sejak proses demokratisasi bergulir di indonesia mulai tahun 1998, dan ditambah lagi dengan diberlakukannya otonomi daerah secara resmi pada tanggal 1 januari 2001 yanglalu, keinginan masyarakat di daerah untuk melakukan pemekaran wilayah meningkat tajam. Sebagaimana disampaikan oleh direktorat jendral otonomi daerah, departemen dalam negeri, sampai dengan tahun 2004 telah membentuk sebanyak 148 daerah otonom yang terdiri dari 7 profinsi, 114 kabupaten dan 27 kota. Sedangkan saat ini masih terdapat 131 usulan pembentukan daerah otonom baru yang sudah di terima oleh pemerintah. Perkembangan yang cepat ini jelas menimbulkan perubahan drastis dalam penataan dan administrasi pemerintah yang selanjutnya memberikan dampak cukup besar bagi keuangan negara maupun tingkat kesejahtraan masyarakat di daerah.
Meningkatkan Keinginan Pemekaran Daerah
Ada berbagai alasan yang mendorong meningkatnya keingnan untuk melakukan pemekaran daerah. Secara formal, keinginan it dipicu guna meningkatkan jangkauan pelayanan publik, terutama untuk daerah dengan luas cukup besar. Akan tetapi tidak dapat pula di pungiri bahwa keinginan untuk malakukan pemekaran daerah tersut juga di picu oleh spek kemajuan daerah dan politis. Apek keuangan muncul sebagai akibat dari perubahan sistim alokassi keuangan negara untuk daerah yang diberlakuakn seiring dengan pelaksanaan otonomi darah (blane 2001). Dalam hal ini masing-masing pemerintah daerah, termasuk daerah pemekaran baru berhak mendapatkan alokasi dana perimbangan baik dalam bentuk dana bagi hasil (DBH), dana alokasi Umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK). Sedangkan aspek olitisa yang serimg muncul adalah dari beberapa keingnan dari beberapa tokoh politik untuk mendapatkan jabatan baru, baik sebagai kepala dan wakil kepala daerah mupun anggota DPRD pada daerah pemekaran.
Adanya berbagai lagar belakang dalam mempertimbangkan dalam pemekaran darah tersebut kemudian ternyata telah menimbulkan berbagai konfil dalam masyarakat yang tidak jarang berakibat terjadinya kekerasan antar kelompok. Adakalanya pemekaran wilayah menyebabkan kegiatan pembangunan didaerah lama menurun drastis kegiatan ekonominya karena sebagian besar berpotensi daerah kebetulan berada pada daerah pemekaran baru. Dilain pihak sering pula terjadi baik kegiatan ekonomi maupun pemerintah pada daerah pemekaran menjadi mundur atau tidak dapat terlaksanannay dengan baik karena keterbatasan sumber dana dan relatif rendahnya kualitas sunberdaya manusia pada daerah pemekaran baru.
Banyaknya permasalahan yang muncul seiring dengan pelaksanaanya dengan pelaksanaan pemekaran daerah tersebut telah mendorong direktorat otonomi daerah, departemen dalam negeri untuk melakukan evaluasi dan pengkajian ulang terhadap kriteria dan prosedur pemekaran daerah yang telah ada dalam rangka merumuskan starategi umum (grand strategy) penataan daerah indonesia 2007-2025 yang lebih sesuai denga tujuan dan mafaat bagi pembangunan nasional dan daerah. Disamping itu starategi umum ini di susun juga untuk meminimumkan ekses negatif da konflik sosial yang dapat terjadi berkaitan dengan pemekaran daerah tersebut. Bab ini disusun sebagai salah satu masukan dari sudut pandang sosial ekonomi yang diharapkan dapat dijadikan sebagai pertimbangan dalam menyusun strategi umum penataan daerah indonesia.

Metode analisa
Secara teoritis pengertian penataan daerah sebenarnya cukup luas dimana pendudukan suatu daerah baru dapat muncul dalam 3 bentuk, yaitu ; pemisahan (split-off), perluasan (enlearning) dan pemyatuan (amalgamtion). Masing-masing bentuk penataan daerah tersebut mempunyai tujuan dan pertimbangan serta dampak yang berbeda terhadap proses pembangunan daerah bersangkutan . sedangkan pengertian daerah dalam bab ini adalah terbatas pada provinsi.
Memperhatikan kenyataan yang berkembang dalam masyarakat dewasa ini, yang dimaksud dengan pemekaran dalam bab in adalah pemisah suatu daerah administratif lam untuk membrntuk suatu daerah administratif baru. Perlusan bisanya terjadi pada daerah perkotaan bila perkembangan suatu darah sudah meluas sehingga daerah yang semula desa (rural area) mulai berubah strukturnya perakonomiannya menjadi daerah perkotaam (urban area) sedangkan penyatuan segitu jauh kelihatanya masih jarang terjadi di indonesia walaupun di negara maju, fenomena ini banyak dan lazim terjadi.
Pendekatan analisa yang digunakan dalam bab ini pada dasarnya adalah dari sisi permintaan (Demand side). Hal ini sengaja dipilih mengingat keinginan untuk melakukan pemekaran daerah pada umumnya datang dari permintaan masyarakt sendiri yang kemudian disalurkan melalui lembaga-lembaga resmi daerah misalnya DPRD dan pemerintah daerah, yang kemudian di usulkan kepada pemerintah pusat. Pemerintah ini bisanya didorong oleh adanya beberapa faktor pemicu pemekaran didaerrah berasangkutan. Sedangka pertimbangan yang diberikan oleh pemerintah pusat dan DPR dalam memberikan persetujuan pada umumnya dalam mangacau pada tingkat kelayakan pemekaran yang terdapat pada daerah bersangkutan.
Bedsarkan pendekatan tersebut, maka kerangka analisa yang digunakan dalam bab ini adalah melihat pada 2 aspek utama yaitu: faktor pemicu pemekaran dan tingkat kelayakan pemekaran daerah. Kemudian dengan menggabung hasil analisa dari kedua aspek ini akan dapat diketahui bebera[a jumlah provinsi ideal untuk indonesia sampai dengantahun 2025 mendatang. Dalam hal ini suatu daerah diperkirakan akan dapar dimekarkan bila terdapat potensi pemekaran dan juga cukup layak mak pemekaran belum dapat dilakukan. Tentunya walaupun terdapat kelayakan, tetapi bila tidak ada faktor pemicu, atau sama-sama tidak ada kelayakan dan potensi pemicu, jelas pemekaran daerah tidak dapat dilakukan.
Faktor pemicu pemekaran wilayah dianalisa dengan menggunakan 4 variabel utama yaitu : perbedaan agama. Perbedaan etnis (budaya), ketimbang (diparitas) pembangunan ekonomi antar daerah dan luas daerah. Sedangkan faktor kelayakan pemekaran daerah dianalis adengan menggunakan 3 variabel yaitu: kemampuan keuangandaerah, pertumbuhan ekonomi daerah dan kualitas sumber daya manusia daerah. Dengan demikian, secara keseluruhan analisa pemekaran daerah dalam bab ini menggunkana 7 unsur sosial-ekonomi sebagai variabel analisis. Guna mewujudkan analisa yang lebih objektif dan mengurangi subjektifitas, masing-masing variabel ditampilkan seccara kualitatif walaupun untuk variabel sosial ukuran yang digunkan tidak terlalu tepat karena keterbatasan dana tersedia untuk dapat menangkap makna yang seharusnya terkandung dalam variabel tersebut.
Variabel perbedaanagama dikukr dengan mennggunakan proporsi penduduk dengan menggunakan antara penganut agama mayoritas daerah dengan agama lainya. Bila proporsi tersebut sangat tinggi, berarti perbedaan agama pada deerah besangkutan sangat kecil (homogen) sehingga diperkirakan tidak akan ada faktor pemicu pemekaran daerah. Akan tatapi bila prporsi resebut tidak terlalu tinggi berarti terdapat perbedaan kehidupan beragama yang cukup besar (heterogen) didaerah tersebut, dalam hal ini akan menyebabkan faktor pemicu pemekaran daerah. Metode yang sama digunakan dalam menganalisa perbedaan etnis (budaya) yang dikur dengan proporsi jumlah penduduk etnis asli daerah dibandingkan dengan etnis pendatang. Dengan demikian bila proporsi etnis asli cukup dominan, maka faktor pemicu pemekaran daerah diperkirakan akan sangat kecil atau tidak ada sama sekali. Akan tetapi bila proporsi antara etnis daerah dengan pendatang tidak terlalu besar ini berarti konsumsi budaya derah cukup beragam (heterogen) maka kondisi tersebu diperkirakan akan cenderung memicu terjadinya pemekaran daerah.
Untuk dapat melkukan penggabungan semua fariabel dari masing-masing faktor pemicu dan kelayakan pemekaran daerah tersebut, metodologi yang digunakan adalah dengan jalan menentukan bobot atau skor dari masing-masing variabel sehingga angka dapat dijumlahkan. Bobot dan skor yang digunkan untuk masing-masing variabel 11.1 tidak dapar di elakkan, penentuan skor dan bobotini cenderung bersifat subjektif sehingga sebagai padangan dan ketidak pahaman dapat muncul terhadap hal ini ntuk itu perlu dilakukan kesepakatan (konsensus) tentang bobot dan skor yang digunakan dalam analisis ini. Kesempatan ini tentunyaakan sangat tergantung pada seberapa jauh bobot dan skor tersebut masuk akal (logis) danpencedrminan realitas yang terjadi dalam masyarakat.
Sebagai mana terlihat pada tabel 11.1 untuk faktor pemicu pemekaran daerah, variabel ketimpangan pembangunan ekonomi antar daerah dan luass daerah diberikan bobot sebesar (30%) dibandingkan dengan variabel perbedaan agama dan etnis yang diberiak bobot 20%. Alasnaya adalah karena perbedaan agama dan perbedaan etnis diperkirakan akan menjadi sensitif bila mana diikuti oleh ketimpangan pembangunana ekonomi yang selanjutnya akan menimbulkan kecemburuan sosial. Sedangkan luas daerah juga diberikan bobot lebih besar (30%) karena hal ini mempunyai inplikasi yang sangat besar terhadap hubungan sosial ekonomi daerah dan kemampuan pemerrintah melaksanakan pelayanan pulik.
Untuk faktor kelayakan pemekaran daerah variabel kamampuan keuangan daerah diberikan bobot lebih besar (40%) dibandingkan dengan variabel pertumbuhan ekonomi daerah dan kualitas sumber daya manusia yang diberikan bobot lebih rendah (30%). Alasannya adalah karena kemampuan keuangan daerah diperkirakan akan sangat menentukan tingkat kelayakan pemekaran suatu daerah unutk melaksanakan roda pemerintahan dan pelayanan politik yang baik. Sedangkan variabel pertumbuhan ekonomi dan kualitas sumberdaya manusia, merupakan unsur juga cukup penting bagi tingkat kelayakan pemekaran, tetapi dengan bobot lebih rendah, yaitu masing-masing sebesar 20%.
Skor yang digunakan dalam bab ini begerak dari 1 sampai dengan 3 dengan pengertian bahwa semakin tinggi skor yang diberikan berarti semkin besar juga pengaruhnya terhadap kemungkinan terjadinya pemekaran daerah. Demikian pula sebaliknya bila skor yang diberikan semakin rendah, maka ini berarti pengaruhnya terhadap pemekaran daerah juga relatif rendah. Karena pengaruh masing-masing variabel dapat berbeda satu sama lainya yaitu ada yang muali dari 1 ke 3 dan ada pula yang dari 3 ke 1.
Pengambilan kesimpulan tentang besar kecilnya faktr pemicu dan tingkat kelayakan pemekaran daerah tersebut memerlukan penggabungan nilai fariabel yang terdapat pada faktor pemicu dengan faktor kelayakan sehingga diperlukan suatu nilai tertentu. Untuk keperluan ini perlu ditetapkanya angka konversi dari hasil penggabungan dari beberapa variabel tersebut. Tentunya bila ngka konversi ini berubah maka kesimpulan yang diperoleh juga akan berbeda. Bab ini angka konvetrsi yang digunakan adalah sebagai berikut:
a. Bila jumlah skor diperoleh <200 dapat disimpulkan tidak berpotensi sebagai pemicu pemekaran daerah dan sebaliknya dikatakan berpotensi bila jumlah skor diperoleh ≥200.
b. Konversi yang sama juga berlaku dalam menentukan tingkt kelayakan pemekaran suatu daerah .
Faktor pemicu pemekaran daerah
Faktor yang cenderung memicu timbulnya keinginan untuk melakukan pemekaran daerah pada umumnya timbul dari aspek sosial ekonomi seperti perbedaan agama bidaya dan perbedaa tingkat pembangunan dan kemakmuran antar daerah. Perbedaan agama dan budaya (etnis) cenderung menimbulkan rasa ketidak senangan antar golongan masyarakat. Sedangkan perbedaan kondisi ekonomi cenderung menimbulkan rasa cemburu dan ceriga antar golongan masyarakat. Kedua aspek ini biasanya sangat sensitif dan dapat mendorong keinginan dari kelompok masyarakat tertentu untuk memisahkan diri. Disamping itu luas daerah yang terlalu besar juga dapat menimbulkan kesulitandalam melaksanakan pelayanan kepada masyarakat karena tempat yang sangat berjauhan. Keempan unsur ini diperkirakan akan menjadi faktor terpenting yang dapat menimbulkan rasa dan keinginan untuk memisahkan diri dari pengelompokan daerah yang administratif yang telah ada sekarang. Kenyataan selama ini memberikan indikasi bahwa pembentukan daerah yang lebih diinginkan olah masyarakat sebenarnya adalah dalam bentuk kesamaan kondisi sosial dan ekonomi (homogeneus region).
a. Perbedaan Agama
Kenyataan terjadi dalam masyarakat menujukkan bahwa perbedaan agama merupakan salah satu unsur yang dapat menyebabka timbulnya keinginan masyarakat unutk memisahkan diri dari suatu negara atau daerah baru. Sebegitu jauh kelihatanya masyarakat lebih merasa senang bila hidup dalam satu daerah dengan agama yang sama. Tidak jarang terjadi dimana keinginan tersebut akhirnya menimbulkan perang saudara dalam satu negara atau daerah karena pemerintah tidak dapat menerima pemisahan ini karena merasa kedaulatanya terganggu.
Banyak contoh kongkrit memperlihatkan hal ini baik dunia internasional maupun di indonesia sendiri. Di dunia internasional misalnya terdapat kasus yang cukp terkenal seperti di irlandia utara antara katolik dan protestan sedangkan di filipina selatan, bosnia dan chekhnya antara pemeluk agama islam dan kristen. Sedangkan untuk indonesia sendiri sejarah juga menunjukkan beberapa gerja dan kejadian penting yang mengarah pada uapaya untuk memerdekakandiri atau melakukan pemekaran pada wilayah seperti Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Organisasi Papua Merdeka (ORM).
Pengukuran tingkat perbedaan agama sebenarnya cukup rumit karena didalamnya juga mengan dung penganut, tingkat pemahaman agama dan tingkah laku pemeluknya. Untuk memudahkan analisa, bab ini menggunakan satu ukura saja sesuai dengan ketersediaan data yaitu dengan menggunakan data jumlah pemeluk agama yang dominan di daerah bersangkutan. Dalam hal ini pengukuran dilakukan dalam bnetuk proporsi penduduk penduduk pemeluk agama mayoritas masyarakat setempat dibandingkan dengan agama lainya. Bila proporsi diperoleh sangat tinggi, ini berarti perbedaan agama tidak berlaku menonjol karena sebagian besar penduduk memiliki agama yang sama (homogen). Akan tetap bila proporsi yang diperoleh cukup rendah ini berarti proporsi jumlah pemeluk agama cukup beragam yang berarti perbadaan agama cukup tinggi (heterogen). Tebel 11.2 memberikan angka proprsi pemeluk agama dominan unutk masing masing profinsi sesuai dengan data statistik tersedia
b. Perbedaan Etnis dan Budaya
Sama halnya dengan perbedaan agama, perbedaan etnis (suku bangsa) dan budaya juga merupakan unsur penting lainya yang dapat memicu terjadinya keininan untuk melakukan pemekaran daerah. Kenyataan menunjukkan bahwa masyarakat merasa kurangnyaman bila hidup dengan masyarakat dengan etnis, adat istiadat dan kebiasaan yang berbeda. Bila kesar=tuan budaya ini terganggu karena kehadiran warga masyarakat lain dengan budaya berbeda maka sering kali terjadi ketegangan saisal dalam masyarakat. Dengan demikian terlihat bahwa adanya ketidak samaan (heterogenesitas) enis dan sosial budaya merupakan unsur oenting dalam memicu terjadinya pemekaran daerah.
Sangat disadari bahwa pengukuran keragaman etnis dan budaya bukanlahhal yang sederhana karena didalanya terdapat berbagai aspek yang saling terkait satu sama lainya. Akan tetapi memperhatikan data ketersediaan data staistik, pengkuran perbadaan etnis ini dapat dilakukan adalah dengan jalan menhitung proporsi penduduk etnis asli daerahsetempat dari jumlah penduduk asli dengan pendatang. Bila angka propesi yang diperoleh cukup tinggi, ini berarti keberadaan penduduk asli bersifat dominan pada daerah tersebut dalam halini mebrikan indikasi bahwa faktor pemicu pemekaran daerah cenderung sangat kecil atau tidak ada sama sekali. Sebaliknya bila proporsi penduduk etnis asli ternyata kecil, maka kondisi ini memberikan indikasi cukup beragamnya budaya daerah pada daerah besangkutan, dalam hal ini memberikan indikasi adanya kemungkinan terdapat faktor pemicu teibulnya dorongan masyarakat setempat untuk meminta pemekaran daerah kepada pemerintah.
c. Ketimpangan Pembangunan Ekonomi Antar Daerah
Aspek berikutnya yang canderung mejadi faktor pemicu terjadinya keingian untuk pemekaran daerah adalah ketimpangan pembangunan ekonomi antar daerah. Termasuk juga ke dalam sapek ini adalah ketimpangan dalam ketersediaan sumber daya alam berniali tinggi, seperti minyak bumi, gas alam dan batu bara yang selanjutnya akan mendorong terjadinya ketimpangan kemakmuran antar daerah. Ketimpangan in selanjutnya akan cenderung pula mendorong terjadinya kecemburuan sosial dan merasa di anaktirikan oleh pemerintah pusat yang akhirnya mendorong kenginan untuk melakukan pemekaran daerah. Bahkan dalam beberapa hal, kondisi tersebut dapat pula berkembang dan memicu kenginan masyarakat memperjuangkan kemerdekaan aderah dari suatu negara berdaulat.
Fakta terjadi pemekaran daerah yang dipicu oleh ketimpangan pembangunan ekonomi dan kemakmuran antar daerah sebenarnya sudah cukup banyak. Misalnya pembentukan proponsi kepulauan Riau yang dpi picu olrh adanya sumber daya alam gas bumi yang cukup besar di kepulauan Natuna, dan berkambang pesatnya keb=giatan ekonomi dipulau Batam. Adanya kenginan untuk merdeka dari GAM dan OPM sebenarnya juga diwarnai oleh ketidak puasan akibat adanya ketimpangan pembangunan ekonomi antar daerah sedangkan untuk tingkat kabupaten, contoh yang cukup menonjol adalah pemekaran kabupaten Rokan Hilir di Profinsi Riau dan kabupaten Ogan Komering Hulu di Propinsi Sumatra Selatan yang dipicu oleh adanya eksploitasi minyak bumi cukup besar di daerah bersangkutan.
Indikasi terjadinya ketimpangan pembangunan antar daerah dapat diketahui dengan menghitung Indeks Williamson menggunakan data PDRB perkapita dan jumlah penduduk sebagai indikator utama. Karena analisa dalam bab ini ditunjukkan pada pemekaran daerah pada tingkat popinsi, maka data yang diperlukan untuk menhitung Indeks Williamson tersebut adalah berasal dari kabupaten dan kota yang merupakan bagian propinsi bersangkutan. Sedangkan angka yang diperoleh dari hasil perhitungan begerak dari 0 sampai 1 dengan pengertian bahwa: bila angka indeks yang diperoleh mendekati 0, berarti pembangunan ekonomi antar daerah sangat merata dan bila indeks tersebut mendekati 1 berarti pembangunan ekonomi pada daerah bersangkutan sangat timpang. Perlu dicatat disini bahwa indeks ini sangat sensitif terhadap ukuran daerah yang bararti bahwa bila luas daerah mengalami perubahan maka indeks ketimpangan ini dbandingkan antar negara, besar kemungkinan penafsirannya menjadi kurang tepat karena luas daerah adalah tidak sama antar negara yang diperbandingkan.
Hasil perhitungan pada tabel 11.2 memperlihatkan bahwa tingkat ketimpangan pembangunan daerah pada beberapa propinsi di indinesia ternaya cukup tinggi, yaitu mencapai sekitar 0,4-0,5. Angka ini sebenarnya relatif tinggi dibandingkan dengan nagara sedang berkembang lainnya. Sedang ketimpangan yang diperkirakan dapat memicu pemekaran daerah adalah bila angka indeksnya melebihi 5 (sangat besar). Dengan demikian, propinsi dengan tingkat ketimpangan pembangunan ekonomi daerah tinggi ternyata kebanyakan berada di wilayah indonesia bagian timur saperti propinsi-propinsi jawa timur, Kalimantan Timur, Sulawesi dan Papua. Sedangkan propinsi yang terletak diwilayah indonesia bagian barat ternyata umumnya mempunyai ketimpangan daerah yang relatif kecil.
d. Luas Daerah
Luas daerah dapat pula memicu timbulnya keninan untuk melakukan pemekaran daerah. Alasanya adalah karna wilayah yang besar akan cenderung menyebabkan pelayanan publik tidak dapat dilakukan secara efektif dan marata keseluruhan pelosok daerah. Sementara tugas pokok pemerintah daerah adalah memberikan pelayanan publik kepada seluruh masyarakat di daerahnya. Dalam rangka memperbaiki pelayanan kepada masyarakat, maka salah satu cara yang dapat ditempuh adalah melakukan pemekaran daerah sehingga luas daerah menjadi lebih kecil dan jangkauan pelayanan publik menjadi lebih efektif.
Sebenarnya argumentassi di atas perlu diberikan dengan catatan bahwa kemungkianan itu akan terjadi bila prasarana perhubungan dan fasilitas komunikasi masih terbatas.akan tetapi prasarana sudah relatif baik dan kamunikasi lancar seenarnya kehawatiran pelayanan publik menjadi kurang efektif dapat dipertanyakan. Akan tetapi karena kabanyakan daerah, terutama diluar pulau jawa masih mmepunyai fasilitas perhubungan dan sarana komuniasi terbatas, maka argumentasi di atas masih cukup logis dan dapat digunakan sebagai faktor pemicu pemekaran daerah.
Sebagai mana juga terlihat pada tabel 11.2, propinsi-propinsi yang mempunyai daerah masih sangat lua adalah propinsi Sumatra Utara, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Irian Jaya. Ini berarti bahwa potensi masyarakat untuk menuntut dilakukanya pemekaran daerah di propinsi ini diperkirakan akan cukup tinggi. Namun demikian tingkat kelayakan pemekaran dari untuk bebrapa propinsi tertentu masih dipertanyakan.
Untuk mendapatkan kesimpulan tentang kecenderungan masing-masing propinsi untuk melakukan pemekaran daerah, maka keempat faktor tersebut di atas perlu digabungkan. Untuk keperluan ini, hasil perhitungan paa Tabel 11.2 diberikan skor dan bobot dengan menggunakan indikator sebagai mana terlihat pada tabel 11.1 elajutnya dengan menggunakan nilaii konversi sebagaimana dijelaskan pada halaman 4, maka hasil perhitungan nilai yang diperoleh dengan menggunakan skor dan bobot ini disajikan pada tabel 11.3
Hasil perhitungan pada tabel 3 memprlihatkan bahwa terdapat 15 propinsi yang mempunya i faktor pemicu yang cukup besar untuk cenderung melakukan pemekaran daerah yaitu : Nanggroe aceh Darusalam (NAD), Umatra Utara, Riau, Jambi, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan dan Papua. Kecenderungan terjadinya pemekaran daerah pada propinsi NAD dan Jawa Timur dipicu oleh luas daerah, ketimpangan pembangunan dan perbedaan budaya. Untuk propinsi Sumatra Utara, Jambi, dan Sumatra Selatan, kecendrungan ini dipicu oleh 4 unsur utama yaitu perbedaan agama, Perbedaan Etnis, daerah yang cukup Luas dan ketimpangan pembangunan daerah. Untuk kabupaten-kabupaten Nusa Tenggara Timur, Kaliamntan Barat, kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur, faktor pemicu utama adalah ketimpangan pembangunan luas daerah da perbedaan budaya. Sedangkan untuk propinsi Sulawesi Tengah, Sulawesi selatan Sulawesi Tenggara, Maluku, dan Papua, kecendrungan pemekaran daerah ternyata lebih banyak dipicu oleh faktor luas daerah, perbedaan agama dan perbedaan etnis.
Faktor Kelayakan Pemekaran daerah
Walaupun analisa pada baigian terdahulu telah membahas bebrapa faktor penting yang diperkirakan dapat memicu terjadinya pemekaran daerah, namun demikian tingkat kelayakannya dari segi ekonomi dan keuangan masih dipertanyakan. Sehubungan dengan hal tersebut, berikut ini dilakukan analisa terhadap beberapa faktor pentingyang menentukan tingkat kelayakan pemekaran suatu daerah terutama dari segi ekonomi dan keuangan. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah: kemampuan keuangan daerah, pertumbuhan ekonomi daerah dan kualitas sumberdaya manusia yang terdapat pada daerah-daerah bersangkutan.
Kemampuan Keuangan Daerah
Tidak dapat disangkal bahwa petimbangan pertama yang perlu dilakukan dalam menentukan kelayakan suatu daerah adalah menyangkut dengan kemampuan keuangan daerah bersangkutan. Alasan jelasmnya karena pemekaran suatu daerah tidak akan berjalan dengan baik bila kemamuan keuangan daerah bersangkutan tidak memadai, peling kurang untuk membiayai tugas-tugas pokok pemerintahan, yitu menjalankan roda pemerintahan dan melakukan pelayanan publik. Pemekran daerah tanpa memperhatikan kemampuan uang daerah diperkirakan natinya akan mengalami kesulitan dalam mendorong proses pembangunan dan bahkan akan sukar dapat menjalankan roda pemerintahan di daerah secara baik (Blade and Chakery 2004).
Sesuai dengan undang-undnag no 33tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah dan P.P 55 tahun 2005 tentang dana pertimbangan, kemampuan keuangan daerah tersebut dalam di ukur berdasarkan rasio kapasitas dan keuntungan fiskal daerah. Kapasitas fiskal daerah pada dasarnya merupakan penjumlahan dari pendapatan asli daerah merupakan pejumlahan dari pendapatan asli daerah (PAD) dan dana bagi Hasil (DBH) daerah bersangkutan. Dengan kata lain, Kapasitas Fiskal Daerah adalah kemampuan keuangan daerah untuk membiayai tugas pokok pemerintah dan kegiatan pembangunan daerah bersangkutan di luar kebutuhan untuk gaji aparatur daerah. Sedangkan kebutuhan fiskal merupakan jumlah dana yang dibutuhkan untuk membiayai keseluruhan kebutuhan pelayanan publik dan dan pembangunan pada daerah bersangkutan yang besarnya sangat ditentukan oleh jumlah penduduk, luas daerah dan variabel lain terkait. Dengan demikian, bila rasio kapasitas dan kebutuhan fiskal tersebut sama dengan 1 atau lebih kecil maka daerah tersebut dikatakan mempunyai kemampuan keuangan yang cukup kuat unutk melakukan pemekaran daerah. Demkian pula sebaliknya bila rasio tersebut ternyata berada dibawah satu.
b. pertumbuhan ekonomi daerah
pertumbuhan ekonomi daerah juga merupakan unsur lainya yang patut dipertimbangkan dalam melakukan pemekaran daerah. Alasanya adalah bahwa bila pertumbuhan ekonomi daerah bersangkutan masih rendah, maka pemekaran dihawatirkan justru akan menyebabkan semakin menurunya pertumbuhan ekonomi daerah besangkutan. Pertimbangan ini didasarkan atas konsep ekonomi dimana bila daerah menjadi semkin kecil karena sudah terbagi dua maka keuntungan Ekonomi Skala Besar (Large-Scale Economies) akan semakin kecil. Bila hal ini terjadi, maka pertumbuhan ekonomi daerah besangkutan akan cenderung menjadi lebih rendah. Demikian pula sebaliknya bila pertumbuhan ekonomi daerah cukup tinggi. Sedangkan indikasi tentang tingkat pertumbuhan ekonomi daerah dapat diukur melalui peningkatan nilai PDRB antar waktu dengan harga konstan.
c. Kualitas Sumberdaya manusia
adalah sangat logis bila kelayakan pemekaran suatu daerah juga ditentukan oleh ketersediaannya sumbar daya manusia daerah yang memadai kualitasnya. Alasanya dalah karena bila kualitas sumberdaya manusia daerah bersangkutan masih rendah, maka pemekaran daerah tersebut bisa berakibat kurang lancarnya pelaksanaan pemerintah dan pelayanan publik di daerah nersangkutan. Bahkan, kualitas sumberdaya yang masih dapat pula menyebabkan proses pembangunan didaerah pemekaran akan sulit berkembang. Akan tetapi bila kualitas sumbar daya manusia daerah bersangkutan sudah cukup memadai, maka pemekaran daerah diperkirakan tidak akan menggangu jalanya roda pemerintahan dan pelayanan publik pada daerah bersangkutan.
Pengukuran kualitas sumberdaya manusia daerah dapat dilakukan dengan indek pembangunan manusia (IPM) yang merupakan kombinasi dari tiga unsur utama yaitu pendidikan, kesehatan, dan pendapatan masyarakat. Dengan demikian, bila dalam suatu propinsi terdapat angka IPM yang relatif tingggi (>70), maka propinsi bersangkutan dapat dikatakan mempunyai kualitas sumber daya manusia yang relatif baik. Demikian pula sebaliknya bila daerah tersebut masih mempinyai angka IPM lebih rendah (<70), maka kulitas sumberdaya daerah besangkutan dikatakan masih relatif rendah.

Halam 288-291
(1) Kurang lancarnya pelaksanaan administrasi pemerintah karena relatif rendahnya kulitas sumberdaya manusa yang terdapat pada daerah pemekaran bersangkutan;
(2) Kulaitas kuangan daerah karena rendahnya rasio kapasitas dan kebutuhan fiskal yang kemudian mengakibatka pelayanan publik dan pelaksanaan pembangunan belum dapat dilakukan secara optimal;
(3) Kegiatan ekonomi pada daerah asal mundur keran sebagian besar potensi ekonom daerah termasuk kedalam daerah pemekaran;
(4) Terjadinya konflik sosial karena sebagian masyarakat tidak setuua dengan pemekarang yang dilakukan.

mengiangat demikian seriusnya permasalahan yang terjadi sebagai akaibat dari pelaksanaan pemekaran daerah tersebut, maka disarankan sangat perlu untuk merumuskan kebijakan umum dan prosedur pelaksanaan pemekaran daerah di Indonesia. Sasaran uatama dari kebijakan dan prosedur ini adalah agar untuk mengupayakan agar pelaksanaan pemekaran daerah bisa dilakukan sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku dan sekaligus mengupayakan agar dampak negatif dari pelaksanaan pemekaran daerah tersebut dapat diminimumkan.
a. Kebijakan umum pemekaran daerah
Mengiangat demikia banyak komplikasi yang timbul sebagai akibat dari pelaksanaan pemekaran daerah di Indonesia, maka persetujuan untuk dapat melakukan pemekaran daerah dimasa mendatang perlu dilakukan secara lebih ketat dan sangat hati-hati. Untuk keperluan ini, maka kebijakan pertama yang perlu dilakukan adalah menentukan jumlah propinsi, serta kabupaten kota yang di mekarkan sampai dengan tahun 2025 mendatang. Kebijakan ini perlu dilakukan agar pengambilan keputusan dapat menentukan sampai jumlah berapa sebaiknya pemekaran daerah tersebut dapat dilakukan di Indonesia sampai denga tahun 2025 mendatang.
Untuk keperluan tersebut, bab ini mencoba memberikan sumbangan pemikiran untuk menetukan jumlah propinsi yang sebaiknya dibentuk sampai dengan tahun 2025 mendatang di Indonesia dari sudut pandang sosial ekonomi. Sedangkan pemikiran jumlah kabupaten dan kota sebaiknya dibentuk di indonesia dalam 20 tahun mendatang akan dilakukan dalam studi. Disamping itu, ini juga memberikan kebijakan umum pemekaran daeran berikut prsedur pelaksanaannya.
Kebijakan berikutnya yang perlu dilakukan adalah menentukan kritetia kelayakan pemekaran daerah secara lebih ketat. Untuk keperluan ini, kriteria pemekaran daerah yang sekarang sedang disusun sebagai revisi terhadap PP. NO. 129 Tahun 2000 yang lalu perlu disesuaikan dengan hasil studi dari berbagai disiplin ilmu. Disamping itu hasil evaluasi koverhensip daerah otonom baru yang sekarang sedang dilaksanakan oleh Drijen Otonomi Daerah, Depnagri akan dapat pula di manfaatkan. Dengan cara demikian, diharapkan pemekaran daerah dapat dilakukan dengan secara lebih berhati-hati karena harus memenuhi seluruh kriteria yang ditetapkan. Sesuai dengan analisa bab ini, kriteria kalayakan pemekaran daerah dari sudut pandang sosial ekonomi yang harus di penuhi paling kurang adalah sebagai berikut:
(a) Rasio kapasitas dan kebutuha fiskal ≥ 1 untuk menjaga kemam puan keungan daerah otonom baru;
(b) Pertumbuhan ekonomi daerah ≥ 5% untuk menjagaagar pemekaran daerah tidak menyebabkan menurunya pertumbuhan ekonomi pada daerah baru;
(c) Indeks pembangunan manusia (IPM) ≥ 70 untuk mejaga agar pelasanaan pemerintah dan kegiatan pembangunan pada daerah otonom baru nantinya akan dapat terlaksana dengan baik.
b. Prosedur pelaksanaan pemekaran
disamping kebijakan di atas, untuk dapat lebih hati-hati dalam mengambil keputusan terhadap pemekaran daerah perlu pula di tetapkan prosedur dan tatacara yang harus di tempuh dalam penetapan pemekaran daerah. Prosedur yang diusulkan adalah sebagai berikut:
(a) Usul pemekaran daerah sebaiknya berasal dari pemerintah sehingga pembahasan terhadap kelyakan bersama dengan dewan pertimbangan otonomi daerah (DPOD) akan dapat dilakukan dengan baik berdasarkan data dan informasi yang tersedia pada kementrian terkalit.
(b) Pengusulan tersebut harus memenuhi persyaratan administrasi sesuai dengan ketentuan barlaku yang menyangkut dengan surat persetujuan dari berbagai pihak berwenang terkait seperti DPRD dan Kepala daerahbersangkutan;
(c) Prosedur yang harus dilaksankan dalam manjaring aspirasi masyarakat harus helas dan transparan sehingga dapat dipastikan bahwa keinginan utnuk melakukan pemekaran daerah benar-benar datang dari masyarakat setempat, dan bukan karena aspirasi politik dari pihak-pihak tertentu saja;
(d) Persetujuan pemekaran daerah diberiakn secara terhadap, yaitu mula-mula propinsi yang baru dimekarkan masih berupa daerah administratif yang ditetapkan dengan KEPRESS atau Peraturan Pemerintah. Dengan demikian, bila terjadi berbagai permasalahan dan kendala yang cukup serius beberapa waktu kemudian maka keputusan tersebut dapat diubah atau diperbaiki seperlunya;
(e) Setelah pemekaran daerah berjalan secara baik dan aman selama lebih kurang 5 tahun perlu dilakukan evaluasi oleh departemen luar negeri bersama dengan DPOD untuk menilai kinerja dari daerah pemekaran baru besangkutan;
(f) Bila hasil evaliasi tersebut ternyata baik dan tidak terdapat aspek yang menghwatirkan, kemudian status daerah pemekaran tersebut dapat dinaikan mejadi daerah permanen dan ditetapkan dengan undang-undang.